gravatar

‘Mandiri Pangan dan Energi’: Potret Desa Di Lereng Gunung Slamet

“Mandiri pangan dan energi”, itu komentar saya dalam batin saat menyusuri desa Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Setiap lahan dimanfaatkan untuk budidaya tanaman.Padi, Jadung, Cabai dan Tomat luas terhampar, sementara di rumah-rumah banyak ternak sapi yang kotorannya buat biogas dan pupuk organic.

Minggu lalu, saya hampir seminggu lebih di tanah kelahiran saya untuk pengobatan mata saya yang kata dokter mata, kelelahan dan berbahaya. Daya dorong kedua bola mata saya 37, , ini lagi-lagi kata Dokter Cut dari RSU Santa Maria Pemalang, padahal normalnya 12. Praktis saya hanya istirahat dan ketika dinyatakan normal kembali, saya manfaatkan untuk melihat alam hijau pegunungan di tanah kelahiran saya. “Ke selatanlah, jangan ke laut melulu” saran teman saya.

Nasehat itupun saya jalani. Sampailah saya ke sebuah desa di lereng gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah. Desa itu berada di ketinggian 700-900 meter di atas permukaan laut. Desa itu namanya Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Desa itu sejuk hawanya. Alam sekitarnya penuh dengan tanaman beraneka rupa. Pagi dan jagung menghampar luas hijau. Setiap penduduk hampir memiliki ternak, yang kotorannya dimanfaatkan untuk biogas untuk memasak di dapur. Penggunaan kayu bakar pun kemudian bisa ditekan. Menanam jagung, padi, tanaman holtikultura seperti cabai dan tomat. Para petani melakukan perbaikan budidaya dan pemanfaatan slurry (limbah cair biogas) untuk pupuk. Hasilnya pun, menjanjikan, hasil panen cabai tomat meningkat.

Wajar jika hutan pinus yang dikelola perhutani terjaga. Penduduk desa Cikendung ini tidak risau dengan issue kelangkaan gas. Banyak penduduk di rumah-rumahnya memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan baku gas. Dengan digester berskala 2 m3 dari bahan drum plastik dan 5 m3 dari bahan plastik. Dengan adanya introduksi biogas, kebutuhan petani akan kayu bakar dapat ditekan sampai hanya sebesar 40-50% kebutuhan, sementara kebutuhan minyak tanah dapat ditekan sampai hanya 0-25%.

Sepulang dari desa Cikendung, saya menjadi memikirkan. Jelas Pemda Kabupaten Pemalang dan Provinsi Jawa Tengah, dan Departemen Pertanian RI tahu. Program itu memang kreasi dari Litbang Departemen Pertaniuan. Desa Cikendung bisa seperti itu lantaran campur tangan dan pembinaan dari Prima Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, melalui program Prima Tani.

Pertanyaan yang kemudian mengendap dalam benak saya adalah mengapa program seperti itu tidak menjadi mainstream untuk kebijakan pertanian pada daerah-daerah yang memungkinkan.

Saya tuliskan posting ini sebagai bagian dari kegelisahan saya. Semoga bisa menjadi kegelisahan bersama dan semoga pula ada yang menyahuti.