gravatar

Omni Vs Prita: Dari Ponggah Bak Salju dan Meluruh Bak Salju Pula [?]

Seorang kawan menyumbangkan koin koleksinya ke posko. Tidak banyak nominalnya, tetapi karena semua pecahan antara 500 , ia harus ketika menyerahkan koin itu cukup repot juga. Ia sengaja tak menukar koinnya agar mudah dibawa. Tak lama kemudian, saya membaca di sebuah media, koin untuk Prita sudah terkumpul 84 juta dan untuk sementara disimpan dalam tiga kontainer. Saya tidak tahu persisnya, untuk 204 juta itu dibutuhkan berapa kontainer. Dalam benak saya, ada dua rekor yang terpecahkan, yaitu: rekor uang koin terbayak tekumpul yang diserahkan ke pengadilan. Untuk ini, mungkin dua rekor akan terlampaui sekaligus. Rekor MURI (Musium Rekor Indonesia) dan Guiness Book of Word Record. Sayang, ketika saya sedang membayangkan tentang rekor-rekord di atas, sebuah stasiun TV memberitakan yang membuyarkan bayangan saya. Bayangan bagaimana repornya pihak RS Omni Internasional menerima ganti rugi dari Prita Mulyasari sebagaimana yang telah ditetapkan pengadilan. Lalu saya juga membayangkan berapa tenaga yang dibutuhkan untuk menghitung kembali uang itu, dan setelah selasai, saya membayangkan bagaimana ekpresi pihak magagement RS Omni Internasional Alam Sutera Tanggerang, setelah menerima ganti rugi itu.

“Saya bersedia menjadi orang pertama yang berjabat tangan dengan Prita untuk meminta maaf” Ujar Direktur RS Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, Bina Ratna Kusuma Fitri. Sayang tak ada penjelasan lebih jauh meminta “maaf”. Dugaan saya, kemungkinan minta maaf karena telah menyeret Prita Mulyasari ke meja hijau. Kesediaan meminta maaf itu, dikemukakan setelah sebelumnya pihak RS Omni Internasional itu mencabut gugatan perdata terhadap Prita Mulyasari tanpa sarat. Dengan pencabutan itu, Prita memjadi terbebas dari membayar denda sebesar 204. Juta rupiah.

Pastilah RS Omni tidak menduga kalau Prita akan mendapat duikungan dari kalangan luas. Upaya memeja hijaukan Prita, pastilah pula tidak pernah dibayangkan akan menjadi bumerang bagi dirinya. Dan memang demikian adanya, saya sendiri juga termasuk yang tidak memiliki imajinasi sama sekali bahwa solidaritas untuk Prita akan demikian saling bersahut satu sama lain. Banyak kalangan yang menganggap gerakan solidaritas yang dibangun melalui jejaring sosial di dunia maya, tidak akan menghasilkan sautu yang kongkrit. Itu sebabnya pula, yang tampaknya menjadi kenyakinan pihak RS Omni. Tidak hirau dengan munculnya berbagai ungkapan simpati dan dukungan yang dibangun melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter dan milist.

'David VS Goliath: 204 Juta VS Koin-koin'

Gerakan pengumpulan koin untuk Prita, menggambarkan bahwa simpati dan solidaritas masyarakat terhadap Priota. Melalui gerakan ini, masyarakat mengartikulasikan pandagan, pemihakan terhadap pihak yang memiliki modal , kedudukan dan akses yang menyikapi keluhan orang kecil dengan sesuatu yang berlebihan. Prita kadang seringkali diidentikan sebagai David dan RS Omni Internasional sebagai Goliath. Dengam simbolisasi itu itu sebenarnya sedang terjadi apa yang disebut sebagai ‘holy war” , “jihad”. David VS Goliath dalam banyak kasus, memang selalu kalah. David yang lemah diatas kertas akan kalah oleh Goliath.

Simbolisasi Goliath pada RS Omni Internasional semakin mengental, ketika ditengarai terjadi perselingkuhan dengan institusi kejaksaan. Seperti diketahui, sebagaimana dipublikasikan media, persoalan ini muncul sebagai akibat dari tindakan Prita Mulyasari yang mempublikasikan keluhannya kepada kawan-kawannya melalui sebuah milist. Ia kemudian dijerat dengan pasal pencemaran nama baik pada satu sisi, pada sisi lain ia juga dijerat dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik {ITE].

Gerakan “koin untuk Prita” yang serentak, sistematis dan terorganisir itu, makin membuat posisi RS Omni tidak bagus positioningnya di mata masyarakat. Sebagai lembaga usaha, tentu harus berpikir, brandingnya tidak baik. Seruang boycot yang dilontarkan oleh banyak kalangan, merupakan ancaman yang sangat serius untuk meneruskan usahanya. Melunaknya sikap RS Omni International itu menunjukan, bahwa sebuah lembaga usaha yang berlaku tidak adil, terkesan adidang, adigung, adiguna dengan posisi yang dimilikinya itu, bertekuk lutut ketika berhadapan dengan gerakan solidaritas yang sifatnya volountaristik yang secara spontan berkembang di masyarakat. Gerakan seperti ini, tentu saja akan sangat susah di bendung.

‘Ponggah’ dan ‘Leleh’ Bak Salju
RS OMNI kekeh bagai gunung salju membawa kasus Prita ke Meja Hijau, dengan dua tuntutan sekaligus pidana dan perdata, kini keponggohan RS Omni Internasional itu luruh bak salju di kutub yang kena pemanasan global. Mencabut gugatan perdata tanpa syarat apapun. Padahal sebelumnya RS Omni itu pasang call tinggi, akan mencabut gugatan dengan syarat Prita membuat permintaan maaf di media secara nasional.

Ponggah bak salju yang dingin itu leleh. Padahal awalnya ia ingin mengkukuhkan reputasinya. Menggunakan intrument hukum {pideana dan perdata] sekaligus, untuk memberi pelajaran kepada Prita dan menyampaikan kepada publik luas agar jangan meniru apa yang telah dilakukan Prita. Ada dua hal yang hendak dicapai secara hukum, pertama, ia akan menghukum Prita sekaligus untuk mengkomunikasikan kepada publik bahwa managemen RS Omni Internasional itu tidak sebagaimana yang dituliskan oleh Prita. Jalur hukum dipakai untuk mengukuhkan reputasinya kepada publik bahwa RS Omni Internasional itu tidak salah.

Kedua, dengan tuntutan pidana dan perdata sekaligus, ia ingin menyampaikan pesan kepada publik luas RS Omni Internasional itu tidak pandang bulu. Siapapun yang dianggap merusak nama baiknya akan berhadapan dengan hukum. Pidana pada satu sisi, dan tuntutan Perdata yang cukup berat juga pada sisi yang lain. Dengan cara demikian, RS Omni Internasional akan membentengi dirinya sendiri. Hal ini tentu saja untuk mengamankan reputasi RS Omni Internasional sendiri. Investasi modal yang tentu tidak sedikit, dan pada sisi yang lain juga reputasi kepakaran dalam bidang medis. Untuk mengamankan investasi dan reputasi kepakaran dalam medis inilah, kemudian RS Omni Internasional itu kekeh membawa Prita ke jalur hukum. Kepada publik, RS Omni Internasional ingin menunjukan bahwa RS tidak salah dan dengan demikian, investasi modal dan reputasi kepakaran dalam bidang medis bisa dikembalikan pada citra semula. Prita sendiri, dalam konteks ini dianggap ‘slilit’ . Kecil tetapi mengganggu dan mengancam stabilitas dalam menjalankan usahanya dalam bidang kesehatan.

Cara pandang seperti itu, terbukti bisa dilawan dengan gerakan dari bawah. Prita berhasil menjadi simbol perlawanan, dimana semakin kuat tekanan semakin memperkuat modal sosial dan gerakan yang terjadi di kalangan masyarakat. Kuatnya dukungan modal sosial ini, berbanding terbalik dengan runtuhnya citra RS Omni di mata masyarakat. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam jasa pelayanan kesehatan, pastilah akan terancam masa depannya apabila tidak mendapatkan tempat di mata masyarakat. RS Omni telah mendapatkan apa yang diminta dari Prita Mulyasari.

[Selengkapnya.....]

gravatar

‘Mandiri Pangan dan Energi’: Potret Desa Di Lereng Gunung Slamet

“Mandiri pangan dan energi”, itu komentar saya dalam batin saat menyusuri desa Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Setiap lahan dimanfaatkan untuk budidaya tanaman.Padi, Jadung, Cabai dan Tomat luas terhampar, sementara di rumah-rumah banyak ternak sapi yang kotorannya buat biogas dan pupuk organic.

Minggu lalu, saya hampir seminggu lebih di tanah kelahiran saya untuk pengobatan mata saya yang kata dokter mata, kelelahan dan berbahaya. Daya dorong kedua bola mata saya 37, , ini lagi-lagi kata Dokter Cut dari RSU Santa Maria Pemalang, padahal normalnya 12. Praktis saya hanya istirahat dan ketika dinyatakan normal kembali, saya manfaatkan untuk melihat alam hijau pegunungan di tanah kelahiran saya. “Ke selatanlah, jangan ke laut melulu” saran teman saya.

Nasehat itupun saya jalani. Sampailah saya ke sebuah desa di lereng gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah. Desa itu berada di ketinggian 700-900 meter di atas permukaan laut. Desa itu namanya Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Desa itu sejuk hawanya. Alam sekitarnya penuh dengan tanaman beraneka rupa. Pagi dan jagung menghampar luas hijau. Setiap penduduk hampir memiliki ternak, yang kotorannya dimanfaatkan untuk biogas untuk memasak di dapur. Penggunaan kayu bakar pun kemudian bisa ditekan. Menanam jagung, padi, tanaman holtikultura seperti cabai dan tomat. Para petani melakukan perbaikan budidaya dan pemanfaatan slurry (limbah cair biogas) untuk pupuk. Hasilnya pun, menjanjikan, hasil panen cabai tomat meningkat.

Wajar jika hutan pinus yang dikelola perhutani terjaga. Penduduk desa Cikendung ini tidak risau dengan issue kelangkaan gas. Banyak penduduk di rumah-rumahnya memanfaatkan kotoran sapi sebagai bahan baku gas. Dengan digester berskala 2 m3 dari bahan drum plastik dan 5 m3 dari bahan plastik. Dengan adanya introduksi biogas, kebutuhan petani akan kayu bakar dapat ditekan sampai hanya sebesar 40-50% kebutuhan, sementara kebutuhan minyak tanah dapat ditekan sampai hanya 0-25%.

Sepulang dari desa Cikendung, saya menjadi memikirkan. Jelas Pemda Kabupaten Pemalang dan Provinsi Jawa Tengah, dan Departemen Pertanian RI tahu. Program itu memang kreasi dari Litbang Departemen Pertaniuan. Desa Cikendung bisa seperti itu lantaran campur tangan dan pembinaan dari Prima Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, melalui program Prima Tani.

Pertanyaan yang kemudian mengendap dalam benak saya adalah mengapa program seperti itu tidak menjadi mainstream untuk kebijakan pertanian pada daerah-daerah yang memungkinkan.

Saya tuliskan posting ini sebagai bagian dari kegelisahan saya. Semoga bisa menjadi kegelisahan bersama dan semoga pula ada yang menyahuti.
[Selengkapnya.....]

gravatar

'Masuk Angin' Politik

‘Masuk angin” kini masuk dalam kosa kata politik. Siapa lagi yang mengemukakan kalau bukan anggota Fraksi Demokrat di DPR RI untuk menyindir para penggagas hak angket Bank Century dari lawan-lawannya yang sekarang menggebu-gebu ingin mengusut tuntas kemana saja aliran dana talangan (bailout) yang digelontorkan oleh BI untuk mengatasi krisis Bank Century yang mengalami likiwiditas.

Kosa kata “masuk angin” itu merupakan serangan balik dari anggota fraksi Demokrat, dengan menggeluarkan istilah “masuk angin” terhadap beberapa anggota DPR yang menggagas hak angket itu, tampak dengan jelas anggota fraksi democrat sedang melakukan proses delegitimasi. Tidak main-main, yang diserang adalah soal integritas moral politik para penggagas atau partai asalnya. Secara samar-samar tampaknya hendak mengatakan bahwa para penggagas hak angket bank century itu tidak serius. Sebelumnya, banyak terlibat untuk mengusulkan hak angket akan tetapi pelan-pelan, satu persatu akan rontok di tengah jalan. Dengan demikian, hak angket bank century akan mengalami abortus di tengah jalan. Dengan demikian, hak angket itu hanya semata-mata maneuver politik belaka.

Paling tidak ada dua hal yang bisa didapat. Pertama, dalam konteks pencitraan mendapatkan simpati sebagai partai yang kritis, memperjuangkan dan membela aspirasi masyarakat. Di mata pemilih, partainya menjadi memiliki tempat, popular dan bisa meningkatkan elektabilitas dalam Pemilu berikutnya.

Kedua, beberapa kasus yang terjadi selama ini, hak angket digunakan untuk ajang tawar menawar terhadap kekuasaan. Menjadi ajang konsolidasi dan unjuk gigi untuk mendapatkan konsesi politik terhadap yang sedang berkuasa. Jadi hak angket itu merupakan momentum, untuk memperbaharui kontrak politik dan reposisisi dalam konstelasi di dekat kekuasaan.
Kita memang memiliki sederet pengalaman buruk soal ini. Banyak hak angket yang digagas dan diusulkan oleh para anggota dewan pada periode lalu, tiba-tiba tidak jelas. Satu persatu para penggagas dan pengusul hak angket ‘gembos” di tengah jalan karena ada intruksi dari partainya untuk tidak melanjutkan.

’Dimasuk Anginkan?’

Stament “masuk angin” itu juga bisa dibaca sebaliknya. Gerakan hak angket akan dimasuk anginkan agar tidak berjalan atau kalau berjalan tidak masuk ke dalam ranah politik. Kita semua tahu, dalam elemen partai pengusung SBY, paling tidak ada dua partai yang dari awal sangat resisten terhadap figure Budiono dan Sri Mulyani Indraswari. Keduanya memiliki calon wapres sendiri akan tetapi SBY tidak bergeming dan kekeh pada pilihannya, Dr Budiono. Stigma yang dibuat untuk menyingkirkan Budiono di mana pemilih adalah neolib atau antek Amerika. Kasus bank Centerury kemudian dimanfaatkan untuk mendelegitimasi Budiono. Tampaknya pesan politik yang hendak dikemukakan kepada SBY adalah “telah salah pilih wapres”.

Kembali dimasuk anginkan. Sangat dengan mudah dilakukan oleh kubu democrat untuk melakukan upaya ini. Formulasinya sangat mudah dibaca, elemen yang terlibat dalam koalisi pendukung SBY-Budiono dikonfirmasi ulang dukungannya. Pola yang selama ini dilakukan adalah dengan mengundang para pemimpin partai untuk kemudian ditegaskan komitmen dukungannya. Tentu saja apabila menolak akan dikeluarkan dari koalisi dengan konsekuensi tidak mendapatkan posisi di jajaran cabinet. Saya menduga SBY tidak akan melakukan cara ini. Disamping sangat kasar dan tentu akan merusak citra SBY dan partai democrat itu sendiri. SBY dan Partai Demokrat tentu sangat berkepentinngan untuk main halus agar citra kenegarawanannya tetap terjaga. SBY juga berkepentingan untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Formulasi yang tampaknya akan dilakukan SBY melalui Partai Demokrat adalah, membiarkan hak angket ini terus berjalan. Tuntas, diselidiki siapa saja yang mendapatkan aliran dana dari talangan Bank Century. Akan tetapi, SBY dan Partai Demokrat, tidak akan membiarkan apabila hak angket ini diteruskan sampai kepada masalah-masalah politik. Lebih-lebih mengarah kepada Wapres atau menteri keuangan.
Formulasi “memasuk anginkan” tampaknya akan dilakukan untuk mengarahkan partai anggota koalisi untuk mengikuti agenda yang diusung oleh Partai Demokrat. Jadi hak angket akan terus berjalan akan tetapi tetap dalam jalur-jalur yang diarahkan oleh partai democrat, yaitu hanya berhenti pada penyelidikan kasus aliran dana, mengungkapkan siapa saja yang menikmati akan tetapi soal pembuat kebijakan tak boleh disentuh. Apabila para anggota koalisi menolak, maka SBY akan menggunakan kontrak politik yang ditantangani saat penyusunan cabinet akan digunakan.

[Selengkapnya.....]

gravatar

Pemimpin, 'Musuh' dan 'Anak Buah'

Ada sebuah pepatan Melayu, bunyinya begini: “ Sebaik-baik pemimpin pasti memiliki musuh, sejelek-jelek pemimpin pasti memiliki anak buah”. Sudah pasti pepatah ini tidak lahir dari konteks sosial, politik maupun cultural yang kosong. Sejauh ini memang tidak ada penjelasan siapa dan bagaimana pepatah ini sosialisasikan. Akan tetapi kita bisa merasakan, apa bila message yang terkandung dalam pepatah ini tentulah terkait dengan soal-soal sosial politik. Versi lain dari pepatah ini adalah ‘jangan harap seorang pemimpin akan disenangi semua pihak,” atau “setiap kelompok pasti ada pemimpinnya”, dan masih banyak lagi jika kita mau dikompilasi.

“Pemimpin, Musuh dan Anak Buah” merupakan tiga hal yang saling berkait gulindan. Tak ada pemimpin yang tak punya musuh, dan hampir pasti setiap pemimpin pasti memiliki anak buah. Memiliki jaringan dan pengikut setia. Jaringan anak buah ini, semakin lama semakin banyak ada di mana-mana. Akan tetapi pada saat yang sama pula, semakin banyak anak buah yang dikecewakan untuk kemudian mengambil posisi sebagai ‘musuh’, barisan yang sakit hati dan kemudian beralih orbit politik menyeberang atau pindah ke kubu yang lain.

Dalam hal ini berlaku prinsip purba yang tetap actual sampai sekarang. “Tidak ada persahabatan yang abadi dalam politik kecuali kepentingan itu sendiri”. Selagi kepentingan-kepentingan anak buah masih diakomodasi, maka akan setia menjadi anak buah. Barisan yang loyal dan tetap menjadi bagian dari anak buah, adalah kelompok yang diuntungkan terus menerus dan eksistensinya akan terancam apabila pemimpin yang sekarang digantikan secara mendadak tanpa sempat melakukan konsolidasi untuk merancang putera mahkota yang akan ditempatkan menjadi pengganti.

Apabila bila pengganti berhasil disiapkan dan menduduki tampuk kepemimpinan, maka kepentingan para anak buah akan menjadi aman terlindungi. Demikian juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang dibuat oleh pemimpin terdahulu, akan dengan mudah dilindungi. Prinsip Jawa sering digunakan, yaitu mikul duwur mendem jero. Ungkap jasa-jasanya dan tutupi segala kesalahannya se dalam-dalamnya.

Secara diam-diam, proses suksesi kepemimpinan secara tersembunyi biasanya merupakan proses negosiasi antar barisan. Antar kekuatan lama dan kekuatan baru yang muncul. Dalam banyak kasus, kekuatan lama akan mendukung kekuatan baru yang member jaminan agar faksinya terlindungi dan terjaga dari kemungkinan-kemungkinan proses-proses politik yang akan dilakukan oleh musuh-musuhnya setelah dirinya tidak berkuasa.

Melihat Reaksi’ Anak Buah’
Meskipun secara teoritik kita mengenal hukum itu menganut asas non diskriminasi, atau pepatah lain yang menggambarkan republic hukum, “biar langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan”. Akan tetapi kita melihat semua itu sebagai suatu yang memukau dalam retorika belaka. Kosa kata dalam literature hukum kita, “asas non diskriminasi”, “biarpun langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan”, memang memukau dan demikianlah seharusnya. Tanpa pandang bulu, dimanapun, siapapun dan kapanpun.

Dari prinsip di atas, kita membayangkan adanya supremacy hukum. Hukum yang tanpa pandang bulu dan berlaku kepada semua orang. Justice for all memang tampak dalam prinsip di atas. Akan tetapi satu hal yang perlu digaris bawahi, bagaimanapun hukum itu produk politik. Satu keputusan yang dibuat berdasarkan consensus politik. Pada Negara-negara yang otoriter, hukum malah dengan jelas dan tegas dibuat untuk melindungi dan memagari kepentingan penguasa yang memegang tampuk kepemimpinan.

Azas non diskriminasi dan idiom “walaupun langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan”, minggu-minggu ini memang tampak pada kasusmbok Minah di Purwokerto dan Nenek Rasuti di Batang Jawa Tengan. Mbok Minah, seorang nenek yang didakwa mengambil tiga buah kakau di sebuah perkebunan dan untuk itu dia ganjar dengan hukuman percobaan. Hal yang sama juga dialmi keluarga Nenek Rasuiti, yang mengambil buah randu sisa panen di sebuah perkebunan. Tiga anggota keluarganya, ditahan poliisi termasuk salah satunya, cucunya yang masih di bawah umur.

Mari kita bayangkan apabila Minah dan Nenek Rasuti itu orang yang memiliki anak buah, seperti halnya beberapa tokoh di negeri ini, apakah hukum akan berlaku tegas? Banyak pihak yang meragukan. Penegak hukum memang tegas dan menjalankan sesuai ketentuan yang berlaku. Pihak yang memperkarakan mbok Minah dan nenek Rasuti bahkan tak mau memaafkan dan menyelesaikan persoalan keduanya di luar pengadilan. Alasannya untuk efek jera. Selama proses hukum tak ada tekanan public terhadap proses hukum itu, baru belakangan, setelah kasusnya diungkap media berbagai simpati bermunculan. Itupun bernada agak minir, beberapa media elektronik selalu mengatakan hukum itu berlaku bagi orang kecil yang tak berdaya.

Mempertimbangkan Anak Buang
Pada kasus Bibit dan Chandra misalnya, apabila tidak ada tekanan dari masyarakat yang demikian keras, pasti proses hukum itu akan diteruskan. Lebih-lebih baik POLRI maupun Kejakgung memiliki kenyakinan yang sama bahwa berkas perkaranya ke duanya telah memenuhi syarat untuk P 21. Presiden pun tak akan membuat TIM 8 jika tidak ada reaksi yang keras dari masyarakat. Simpatisan Bibit dan Chandra, yang menyebar ke seluruh penjuru pelosok negeri lewat jaringan sosial face book telah memaksa orang nomor satu di negeri ini bersikap. Sudah tentu bukan takut kepada Chandra atau Bibit, akan tetapi yang lebih diperhatikan adalah orang yang secara suka rela menjadi pendukung Bibit dan Chandra yang penuh ketidak percayaan terhadap proses penyelidikan dan penyidikan oleh penegak hukum terhadap Bibit dan Chandra.

Sebagai pemimpin negeri, SBY tentu saja tidak bisa mengabaikan soal-soal seperti ini. Apabila dibiarkan akan mengembang dan membesar menjadi political distrust yang bisa-bisa mengarah kepada kepemimpinan dirinya. Bagaimana tidak, apabila aparat penegak hukum tidak dipercaya oleh masyarakat, maka yang akan berkembang adalah anarkhi dan civil disobedience.

“Mempertimbangkan anak buah”. Juga tampak dalam berbagai reposisi jabatan penting di negeri ini. Geser menggeser seseorang adalah suatu yang mudah. Yang tidak mudah justru memikirkan reaksi dari anak buahnya. Itu sebabnya, setiap kali ada usulan untuk reposisi, akan berjalan lambat. Tidak semudah membalik telapak tangan. Di dalamnya ada faksi-faksi, ada anak buah yang secara psikologis juga harus dipertimbangkan eksistensi dan ‘harga diri’nya. Itupula tampaknya, kita sering kali mendapatkan penghalusan istilah, seperti pencopotan dengan pembebas tugasan. Digantikan posisinya oleh orang lain, sebagai tour of duty meskipun masyarakat umum mengerti dan memahami, duduk perkara mengapa seseorang harus terpental dari posisinya.

Dengan demikian, pepatah Melayu “Setiap pemimpin memiliki musuh dan sejelek-jelek pemimpin memiliki anak buah” pada dasarnya merupakan refleksi sosial dari apa yang selama ini terjadi? Wallahu A’lam

[Selengkapnya.....]