gravatar

Pemimpin, 'Musuh' dan 'Anak Buah'

Ada sebuah pepatan Melayu, bunyinya begini: “ Sebaik-baik pemimpin pasti memiliki musuh, sejelek-jelek pemimpin pasti memiliki anak buah”. Sudah pasti pepatah ini tidak lahir dari konteks sosial, politik maupun cultural yang kosong. Sejauh ini memang tidak ada penjelasan siapa dan bagaimana pepatah ini sosialisasikan. Akan tetapi kita bisa merasakan, apa bila message yang terkandung dalam pepatah ini tentulah terkait dengan soal-soal sosial politik. Versi lain dari pepatah ini adalah ‘jangan harap seorang pemimpin akan disenangi semua pihak,” atau “setiap kelompok pasti ada pemimpinnya”, dan masih banyak lagi jika kita mau dikompilasi.

“Pemimpin, Musuh dan Anak Buah” merupakan tiga hal yang saling berkait gulindan. Tak ada pemimpin yang tak punya musuh, dan hampir pasti setiap pemimpin pasti memiliki anak buah. Memiliki jaringan dan pengikut setia. Jaringan anak buah ini, semakin lama semakin banyak ada di mana-mana. Akan tetapi pada saat yang sama pula, semakin banyak anak buah yang dikecewakan untuk kemudian mengambil posisi sebagai ‘musuh’, barisan yang sakit hati dan kemudian beralih orbit politik menyeberang atau pindah ke kubu yang lain.

Dalam hal ini berlaku prinsip purba yang tetap actual sampai sekarang. “Tidak ada persahabatan yang abadi dalam politik kecuali kepentingan itu sendiri”. Selagi kepentingan-kepentingan anak buah masih diakomodasi, maka akan setia menjadi anak buah. Barisan yang loyal dan tetap menjadi bagian dari anak buah, adalah kelompok yang diuntungkan terus menerus dan eksistensinya akan terancam apabila pemimpin yang sekarang digantikan secara mendadak tanpa sempat melakukan konsolidasi untuk merancang putera mahkota yang akan ditempatkan menjadi pengganti.

Apabila bila pengganti berhasil disiapkan dan menduduki tampuk kepemimpinan, maka kepentingan para anak buah akan menjadi aman terlindungi. Demikian juga ‘kesalahan-kesalahan’ yang dibuat oleh pemimpin terdahulu, akan dengan mudah dilindungi. Prinsip Jawa sering digunakan, yaitu mikul duwur mendem jero. Ungkap jasa-jasanya dan tutupi segala kesalahannya se dalam-dalamnya.

Secara diam-diam, proses suksesi kepemimpinan secara tersembunyi biasanya merupakan proses negosiasi antar barisan. Antar kekuatan lama dan kekuatan baru yang muncul. Dalam banyak kasus, kekuatan lama akan mendukung kekuatan baru yang member jaminan agar faksinya terlindungi dan terjaga dari kemungkinan-kemungkinan proses-proses politik yang akan dilakukan oleh musuh-musuhnya setelah dirinya tidak berkuasa.

Melihat Reaksi’ Anak Buah’
Meskipun secara teoritik kita mengenal hukum itu menganut asas non diskriminasi, atau pepatah lain yang menggambarkan republic hukum, “biar langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan”. Akan tetapi kita melihat semua itu sebagai suatu yang memukau dalam retorika belaka. Kosa kata dalam literature hukum kita, “asas non diskriminasi”, “biarpun langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan”, memang memukau dan demikianlah seharusnya. Tanpa pandang bulu, dimanapun, siapapun dan kapanpun.

Dari prinsip di atas, kita membayangkan adanya supremacy hukum. Hukum yang tanpa pandang bulu dan berlaku kepada semua orang. Justice for all memang tampak dalam prinsip di atas. Akan tetapi satu hal yang perlu digaris bawahi, bagaimanapun hukum itu produk politik. Satu keputusan yang dibuat berdasarkan consensus politik. Pada Negara-negara yang otoriter, hukum malah dengan jelas dan tegas dibuat untuk melindungi dan memagari kepentingan penguasa yang memegang tampuk kepemimpinan.

Azas non diskriminasi dan idiom “walaupun langit runtuh hukum harus tetap ditegakkan”, minggu-minggu ini memang tampak pada kasusmbok Minah di Purwokerto dan Nenek Rasuti di Batang Jawa Tengan. Mbok Minah, seorang nenek yang didakwa mengambil tiga buah kakau di sebuah perkebunan dan untuk itu dia ganjar dengan hukuman percobaan. Hal yang sama juga dialmi keluarga Nenek Rasuiti, yang mengambil buah randu sisa panen di sebuah perkebunan. Tiga anggota keluarganya, ditahan poliisi termasuk salah satunya, cucunya yang masih di bawah umur.

Mari kita bayangkan apabila Minah dan Nenek Rasuti itu orang yang memiliki anak buah, seperti halnya beberapa tokoh di negeri ini, apakah hukum akan berlaku tegas? Banyak pihak yang meragukan. Penegak hukum memang tegas dan menjalankan sesuai ketentuan yang berlaku. Pihak yang memperkarakan mbok Minah dan nenek Rasuti bahkan tak mau memaafkan dan menyelesaikan persoalan keduanya di luar pengadilan. Alasannya untuk efek jera. Selama proses hukum tak ada tekanan public terhadap proses hukum itu, baru belakangan, setelah kasusnya diungkap media berbagai simpati bermunculan. Itupun bernada agak minir, beberapa media elektronik selalu mengatakan hukum itu berlaku bagi orang kecil yang tak berdaya.

Mempertimbangkan Anak Buang
Pada kasus Bibit dan Chandra misalnya, apabila tidak ada tekanan dari masyarakat yang demikian keras, pasti proses hukum itu akan diteruskan. Lebih-lebih baik POLRI maupun Kejakgung memiliki kenyakinan yang sama bahwa berkas perkaranya ke duanya telah memenuhi syarat untuk P 21. Presiden pun tak akan membuat TIM 8 jika tidak ada reaksi yang keras dari masyarakat. Simpatisan Bibit dan Chandra, yang menyebar ke seluruh penjuru pelosok negeri lewat jaringan sosial face book telah memaksa orang nomor satu di negeri ini bersikap. Sudah tentu bukan takut kepada Chandra atau Bibit, akan tetapi yang lebih diperhatikan adalah orang yang secara suka rela menjadi pendukung Bibit dan Chandra yang penuh ketidak percayaan terhadap proses penyelidikan dan penyidikan oleh penegak hukum terhadap Bibit dan Chandra.

Sebagai pemimpin negeri, SBY tentu saja tidak bisa mengabaikan soal-soal seperti ini. Apabila dibiarkan akan mengembang dan membesar menjadi political distrust yang bisa-bisa mengarah kepada kepemimpinan dirinya. Bagaimana tidak, apabila aparat penegak hukum tidak dipercaya oleh masyarakat, maka yang akan berkembang adalah anarkhi dan civil disobedience.

“Mempertimbangkan anak buah”. Juga tampak dalam berbagai reposisi jabatan penting di negeri ini. Geser menggeser seseorang adalah suatu yang mudah. Yang tidak mudah justru memikirkan reaksi dari anak buahnya. Itu sebabnya, setiap kali ada usulan untuk reposisi, akan berjalan lambat. Tidak semudah membalik telapak tangan. Di dalamnya ada faksi-faksi, ada anak buah yang secara psikologis juga harus dipertimbangkan eksistensi dan ‘harga diri’nya. Itupula tampaknya, kita sering kali mendapatkan penghalusan istilah, seperti pencopotan dengan pembebas tugasan. Digantikan posisinya oleh orang lain, sebagai tour of duty meskipun masyarakat umum mengerti dan memahami, duduk perkara mengapa seseorang harus terpental dari posisinya.

Dengan demikian, pepatah Melayu “Setiap pemimpin memiliki musuh dan sejelek-jelek pemimpin memiliki anak buah” pada dasarnya merupakan refleksi sosial dari apa yang selama ini terjadi? Wallahu A’lam

gravatar

sangat setuju dengan pepatahnya. btw theme kamu bener2 mirip FB ya bro.