Omni Vs Prita: Dari Ponggah Bak Salju dan Meluruh Bak Salju Pula [?]
Seorang kawan menyumbangkan koin koleksinya ke posko. Tidak banyak nominalnya, tetapi karena semua pecahan antara 500 , ia harus ketika menyerahkan koin itu cukup repot juga. Ia sengaja tak menukar koinnya agar mudah dibawa. Tak lama kemudian, saya membaca di sebuah media, koin untuk Prita sudah terkumpul 84 juta dan untuk sementara disimpan dalam tiga kontainer. Saya tidak tahu persisnya, untuk 204 juta itu dibutuhkan berapa kontainer. Dalam benak saya, ada dua rekor yang terpecahkan, yaitu: rekor uang koin terbayak tekumpul yang diserahkan ke pengadilan. Untuk ini, mungkin dua rekor akan terlampaui sekaligus. Rekor MURI (Musium Rekor Indonesia) dan Guiness Book of Word Record. Sayang, ketika saya sedang membayangkan tentang rekor-rekord di atas, sebuah stasiun TV memberitakan yang membuyarkan bayangan saya. Bayangan bagaimana repornya pihak RS Omni Internasional menerima ganti rugi dari Prita Mulyasari sebagaimana yang telah ditetapkan pengadilan. Lalu saya juga membayangkan berapa tenaga yang dibutuhkan untuk menghitung kembali uang itu, dan setelah selasai, saya membayangkan bagaimana ekpresi pihak magagement RS Omni Internasional Alam Sutera Tanggerang, setelah menerima ganti rugi itu.
“Saya bersedia menjadi orang pertama yang berjabat tangan dengan Prita untuk meminta maaf” Ujar Direktur RS Omni Internasional Alam Sutera, Serpong, Bina Ratna Kusuma Fitri. Sayang tak ada penjelasan lebih jauh meminta “maaf”. Dugaan saya, kemungkinan minta maaf karena telah menyeret Prita Mulyasari ke meja hijau. Kesediaan meminta maaf itu, dikemukakan setelah sebelumnya pihak RS Omni Internasional itu mencabut gugatan perdata terhadap Prita Mulyasari tanpa sarat. Dengan pencabutan itu, Prita memjadi terbebas dari membayar denda sebesar 204. Juta rupiah.
Pastilah RS Omni tidak menduga kalau Prita akan mendapat duikungan dari kalangan luas. Upaya memeja hijaukan Prita, pastilah pula tidak pernah dibayangkan akan menjadi bumerang bagi dirinya. Dan memang demikian adanya, saya sendiri juga termasuk yang tidak memiliki imajinasi sama sekali bahwa solidaritas untuk Prita akan demikian saling bersahut satu sama lain. Banyak kalangan yang menganggap gerakan solidaritas yang dibangun melalui jejaring sosial di dunia maya, tidak akan menghasilkan sautu yang kongkrit. Itu sebabnya pula, yang tampaknya menjadi kenyakinan pihak RS Omni. Tidak hirau dengan munculnya berbagai ungkapan simpati dan dukungan yang dibangun melalui jejaring sosial seperti facebook, twitter dan milist.
'David VS Goliath: 204 Juta VS Koin-koin'
Gerakan pengumpulan koin untuk Prita, menggambarkan bahwa simpati dan solidaritas masyarakat terhadap Priota. Melalui gerakan ini, masyarakat mengartikulasikan pandagan, pemihakan terhadap pihak yang memiliki modal , kedudukan dan akses yang menyikapi keluhan orang kecil dengan sesuatu yang berlebihan. Prita kadang seringkali diidentikan sebagai David dan RS Omni Internasional sebagai Goliath. Dengam simbolisasi itu itu sebenarnya sedang terjadi apa yang disebut sebagai ‘holy war” , “jihad”. David VS Goliath dalam banyak kasus, memang selalu kalah. David yang lemah diatas kertas akan kalah oleh Goliath.
Simbolisasi Goliath pada RS Omni Internasional semakin mengental, ketika ditengarai terjadi perselingkuhan dengan institusi kejaksaan. Seperti diketahui, sebagaimana dipublikasikan media, persoalan ini muncul sebagai akibat dari tindakan Prita Mulyasari yang mempublikasikan keluhannya kepada kawan-kawannya melalui sebuah milist. Ia kemudian dijerat dengan pasal pencemaran nama baik pada satu sisi, pada sisi lain ia juga dijerat dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik {ITE].
Gerakan “koin untuk Prita” yang serentak, sistematis dan terorganisir itu, makin membuat posisi RS Omni tidak bagus positioningnya di mata masyarakat. Sebagai lembaga usaha, tentu harus berpikir, brandingnya tidak baik. Seruang boycot yang dilontarkan oleh banyak kalangan, merupakan ancaman yang sangat serius untuk meneruskan usahanya. Melunaknya sikap RS Omni International itu menunjukan, bahwa sebuah lembaga usaha yang berlaku tidak adil, terkesan adidang, adigung, adiguna dengan posisi yang dimilikinya itu, bertekuk lutut ketika berhadapan dengan gerakan solidaritas yang sifatnya volountaristik yang secara spontan berkembang di masyarakat. Gerakan seperti ini, tentu saja akan sangat susah di bendung.
‘Ponggah’ dan ‘Leleh’ Bak Salju
RS OMNI kekeh bagai gunung salju membawa kasus Prita ke Meja Hijau, dengan dua tuntutan sekaligus pidana dan perdata, kini keponggohan RS Omni Internasional itu luruh bak salju di kutub yang kena pemanasan global. Mencabut gugatan perdata tanpa syarat apapun. Padahal sebelumnya RS Omni itu pasang call tinggi, akan mencabut gugatan dengan syarat Prita membuat permintaan maaf di media secara nasional.
Ponggah bak salju yang dingin itu leleh. Padahal awalnya ia ingin mengkukuhkan reputasinya. Menggunakan intrument hukum {pideana dan perdata] sekaligus, untuk memberi pelajaran kepada Prita dan menyampaikan kepada publik luas agar jangan meniru apa yang telah dilakukan Prita. Ada dua hal yang hendak dicapai secara hukum, pertama, ia akan menghukum Prita sekaligus untuk mengkomunikasikan kepada publik bahwa managemen RS Omni Internasional itu tidak sebagaimana yang dituliskan oleh Prita. Jalur hukum dipakai untuk mengukuhkan reputasinya kepada publik bahwa RS Omni Internasional itu tidak salah.
Kedua, dengan tuntutan pidana dan perdata sekaligus, ia ingin menyampaikan pesan kepada publik luas RS Omni Internasional itu tidak pandang bulu. Siapapun yang dianggap merusak nama baiknya akan berhadapan dengan hukum. Pidana pada satu sisi, dan tuntutan Perdata yang cukup berat juga pada sisi yang lain. Dengan cara demikian, RS Omni Internasional akan membentengi dirinya sendiri. Hal ini tentu saja untuk mengamankan reputasi RS Omni Internasional sendiri. Investasi modal yang tentu tidak sedikit, dan pada sisi yang lain juga reputasi kepakaran dalam bidang medis. Untuk mengamankan investasi dan reputasi kepakaran dalam medis inilah, kemudian RS Omni Internasional itu kekeh membawa Prita ke jalur hukum. Kepada publik, RS Omni Internasional ingin menunjukan bahwa RS tidak salah dan dengan demikian, investasi modal dan reputasi kepakaran dalam bidang medis bisa dikembalikan pada citra semula. Prita sendiri, dalam konteks ini dianggap ‘slilit’ . Kecil tetapi mengganggu dan mengancam stabilitas dalam menjalankan usahanya dalam bidang kesehatan.
Cara pandang seperti itu, terbukti bisa dilawan dengan gerakan dari bawah. Prita berhasil menjadi simbol perlawanan, dimana semakin kuat tekanan semakin memperkuat modal sosial dan gerakan yang terjadi di kalangan masyarakat. Kuatnya dukungan modal sosial ini, berbanding terbalik dengan runtuhnya citra RS Omni di mata masyarakat. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam jasa pelayanan kesehatan, pastilah akan terancam masa depannya apabila tidak mendapatkan tempat di mata masyarakat. RS Omni telah mendapatkan apa yang diminta dari Prita Mulyasari.
[Selengkapnya.....]